Kaleidoskop 2020: 6 Kebijakan Jokowi yang Timbulkan Kontroversi

Kaleidoskop 2020: 6 Kebijakan Jokowi yang Timbulkan Kontroversi

Bagikan Artikel Ini

VIVA – Tahun 2020 adalah tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Tapi menjadi periode kedua bagi Presiden Jokowi.

Sejumlah kebijakan atau policy telah diambil oleh Presiden Jokowi. Bahkan ada juga berbagai kebijakan tersebut, yang justru melahirkan pro dan kontra, kontroversial, di tengah-tengah masyarakat.

Kami mencoba merangkum beberapa kebijakan yang menimbulkan kontroversi tersebut dalam kaleidoskop 2020 pemerintahan Presiden Jokowi sebagai berikut:

1. Perppu Corona, Pejabat Tak Bisa Dipidana
Awal tahun 2020, dunia dihentakkan dengan munculnya virus Corona, atau COVID-19 yang dimulai dari Wuhan, China. Virus itu menyebar cepat ke berbagai negara, termasuk diantaranya adalah Indonesia. Hingga organisasi kesehatan dunia, WHO, menetapkan sebagai wabah atau pandemi.

Baca juga: Ahmad Basarah Didukung Jadi Mensos Gantikan Juliari Batubara

Akibatnya, anggaran negara yang awalnya sudah dianggarkan dengan berbagai macam program selama setahun, terpaksa harus direfokusing APBN. Untuk mengubah UU APBN butuh waktu lama, sementara pandemi sudah terjadi dan masyarakat butuh bantuan segera, akhirnya Presiden Jokowi memutuskan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.

Namun yang menjadi kontroversi, adalah pada Pasal 27 Perppu tersebut. Ada 3 ayat di pasal tersebut, yang memberi kekebalan hukum terhadap pejabat negara. Seperti Pasal 2 berbunyi:

“Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dilanjutkan dengan ayat 3, yang memberi kepastian tidak bisa dituntut pidana: “segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”

Pasal itu kemudian digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).

2. UU Cipta Kerja
Pada 2019 lalu, pemerintah mengajukan draft Rancangan Undang-undang (RUU) Sapujagat. Yakni merevisi beberapa undang-undang dalam model omnibus law.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Aksi protes pun mengalir deras, baik dalam bentuk demonstrasi oleh para buruh, mahasiswa dan masyarakat. Termasuk di DPR, perdebatan sempat muncul.

Aksi protes terhadap keinginan pemerintah di RUU Cipta Kerja itu, menyulut aksi-aksi panjang. Bahkan saat di masa pandemi COVID-19, aksi-aksi tersebut tetap berlangsung. Bahkan hingga terjadi kerusuhan dan pembakaran sejumlah fasilitas publik, terutama di Ibu Kota Jakarta.

Hingga akhirnya, melalui rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, mensahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Hingga pada 2 November 2020, resmi diteken oleh Presiden Jokowi menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

3. Perpanjangan Masa Jabatan Hakim MK
Undang-undang Nomor 7 tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai hasil revisi, sempat melahirkan kontroversi. Terutama perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi dari 5 menjadi 15 tahun.

UU ini disahkan dalam paripurna DPR 1 September 2020, setelah pemerintah dan dewan menyetujuinya. Pada 28 September Presiden Jokowi meneken UU tersebut, sehingga sehari berikutnya resmi berlaku.

Perpanjangan masa jabatan hakim MK itu, melahirkan banyak protes dan ketidaksetujuan. Mengingat 15 tahun dianggap terlalu panjang, sementara tingkat kepercayaan publik juga masih belum tinggi.

“Lima belas tahun masa jabatan terlalu panjang untuk negara seperti Indonesia yang tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang masih rendah,” ujar Peneliti PSHK Agil Oktaryal.

4. Undang-undang Minerba
Pada 10 Juni 2020, Presiden Joko Widodo menandatangani UU Mineral dan Batubara (UU Minerba) menjadi undang-undang, yang artinya resmi berlaku setelah sebelumnya diputuskan melalui Paripurna DPR.

Sebagai revisi dari UU Nomor 4 tahun 2009, pemerintah mensahkan hasil revisinya menjadi UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Keputusan ini mendapat pertentangan terutama dari aktivis dan pegiat lingkungan hidup. Mereka menganggap merugikan rakyat kecil, dan cenderung berpihak pada pengusaha besar. Terutama terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diatur dalam UU tersebut.

5. Iuran BPJS Kesehatan Naik saat Pandemi
Iuran BPJS Kesehatan diputuskan naik. Melalui Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Keputusan ini menimbulkan kontroversi lantaran kenaikan ini di tengah-tengah masyarakat kesulitan akibat pandemi COVID-19.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara resmi, mulai berlaku sejak 1 Juli 2020. Kenaikan iuran ini diberlakukan untuk dua kelas, yakni Kelas I dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu. Kelas II juga naik dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu.

Tapi berdasarkan Perpres tersebut, iuran untuk Kelas III yang merupakan subsidi pemerintah, tidak naik. Namun kenaikan akan dikenakan pada Januari 2021 yakni sebesar Rp35 ribu dari sebelumnya Rp25.500.

6. Pilkada Serentak 2020
Akibat pandemi COVID-19, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 diundur. Awalnya, pelaksanaan Pilkada tersebut dijadwalkan pada September 2020. 

Tapi mengingat pandemi, pada Juli 2020 maka Presiden Jokowi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 sebagai pengganti UU Nomor 2 tahun 2020. 

Dengan peraturan tersebut, maka Pilkada Serentak 2020 diputuskan digelar pada Desember. Jelang pelaksanaannya, sejumlah elemen masyarakat meminta agar pemerintah kembali mengundur pilkada. Alasannya, pandemi masih tinggi, bahkan terus melonjak angka kasusnya, apalagi ditambah pilkada yang dikhawatirkan akan menjadi klaster baru COVID-19.

Ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, meminta Presiden Jokowi menunda pelaksanannya. Tapi Presiden tetap bersikukuh untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember, tidak ditunda lagi. (ren)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *